Wednesday, July 17, 2013

Biografi Al-Habib Haidarah Bin Muhsin Al-Hinduan




 Menemukan Guru Sejati


Ia benar-benar mendapati "ilmu yang luar biasa"
Dari teladan yang di berikan sang guru.

Pribadinya santai lagi homuris namun, ia juga seorang 
yang serius , apalagi saat bicara perihal dakwah dan tarbiyah.
Pesan-pesan keagamaan,terutama tazkiyatunnafs (penyucianjiwa)
atau biasa di sebut tasawwuf, banyak ia sampaikan saat-
menemui AlKisah di sela-sela kesibukannya berdakwah 
dan mendidik santrinya, Bertempat di kediamannya, 
di Desa Duwet, Situbondo, Jawa Timur, ia tampak-
fasih bicara seputar thariqah, baik teori maupun aplikasinya, 
Maklum, ia kini aktif sebagai seorang pembina majelis thariqah.
          Tidak  seperti berdakwah dengan metode tabligh, 
berdakwah lewat thariqah menuntut adanya ikatan erat antara
 guru dan setiap muridnya yang harus selalu di kelola secara
 tepat di setiap saat. Padahal jamaah nya terdiri dari beragam
 orang dengan latar belakang dan status sosial. Tentu saja,
 ini membutuhkan ketekunan, ketulusan, keseriusan dan
 kesabaran ekstra.
  Beruntung, thariqah  yang ia sebarkan adalah 
Thariqah Alawiyah yang jua sering di sebut thariqah sahlah
atau thariqah yang mudah, sehingga cukup lentur dengan 
berbagai situasi dan kondisi. Kekayaan khazanah 
thariqah ini juga sangat membantunya dalam membina-
jamaahnya, yang awam sekalipun.

Alawiyah Naqsyabandiyah
Muhsiniyah
Pada kenyataannya, Thariqah alawiyah, yang bermuara kepada Sayyidina Ali KW,
memiliki sanad dengan semua thariqat  Ahlussunah Waljamaah, termasuk naqsyabandiyah ,
yang bermuara pada Sayyidina Abu bakar RA. Sumber kedua sahabat utama itu tentu saja Rasulullah SAW. Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi, dalam Iqdul Yawaqit, banyak menyebut  kaitan dua thariqah.Bahkan Habib Abdurahman bin Mustafa Alaydrus menulis sebuah risalah khusus tentang Naqsyabandiyah.
Atas dasar itulah ia memadukan keduanya. Harapannya masyarakat luas bisa mengakrapi dunia thariqah, segaligus beroleh sanad keilmuan dari kalangan hababaib. Namun, tetap,ia amat ketat dalam, menanamkan prinsip-prinsip pokok Thariqah Alawiyah yang termuat pada lima asasnya : Ilmu, amal,wara,khauf, dan ikhlas.
Tuntutan syari'at tentu tak lepas dalam aktivitas thareqatnya. 
Dalam hal ini ia tak sendirian. Sejumlah alumnus Darul Musthafa Tarim dan beberapa Kiayi serta guru setempat turut bersamanya dalam bimbingan syariat pada ikhwan thariqat.kerja sama itu dengan sendirinya juga memunculkan suasana dakwah yang baik dan terorganisir. saat ini majelis thariqah yang ia bina melebarkan sayapnya ke berbagai pelosok. Ada sekitar sepuluh pengurus  tingkat wilayah, mulai dari Kabupaten Situbondo sebagai pusatnya, Surabaya, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah yang meliputi kota Palangkaraya, Sampit, Pangkalambun ,dan beberapa kota di Kalimantan Barat, Sedang kepeng- urusan di tingkat Cabang telah mencapai Ratusan.
Kepiawaiannya dalam mengemas thareqat menjadi sesuatu yang menarik dan diminati ini bukan suatuyang aneh. Dalam dirinya mengalir darah dari sang Ayah, Tokoh Mursyid  besar dalam dunia Thareqah  di nusantara, Habib Muhsin Bin Ali Al-Hinduan.
Berbagai faktor tersebut membuatnya menamakan majelis thareqah yang ia bina dengan nama "Majelis Thareqah Alawiyah Naqsyabandiyah Muhsiniyah". Maksudnya yang ia sebarkan adalah Alawiyah, yang ia padukan dengan metode dan nilai-nilai yang selaras dalam Naqsyabandiyah , Berdasarkan formula ajaran thariqah yang di warisi Habib Muhsin, Ayahnya.
Haul Al-Faqih Al-Muqaddam
 Disamping lewat thariqah , ia juga mendirikan pesantren yang oleh Gurunya , Habib Umar Bin Hafidz , di beri nama "Adh-Dhiya'ul Musthafawy".Pesantren ini merupakan Pesantren  pertama yang di dirikan murid Habib Umar, yaitu saat Habib Umar melepaskan kelulusan santri angkatan pertama Darul Musthafa pada tahun 1998 .
Pesantrennya ini menggunakan kurikulum dan sistem pendidikan yang disesuaikan dengan Darul Musthafa Tarim, mulai dari materi pelajaran hingga aktivitas sehari-hari, seperti pada qiyamul lail, khuruj dakwah, hafalan-hafalannya. Ketika baru-baru ini Darul Musthafa Tarim mengubah kurikulum dan sistem pengajaranya, pesantren ini pun berusaha mengikuti induknya tersebut, meski tidak seratus persen.
Berkat kerja sama pengurus pesantren dan para ikhwan thariqah binaannya,pesantren ini memiliki program beasiswa kepada para santri berprestasi untuk melanjutkan studi ke Hadhramaut. Ada sekitar tujuh santrinya yang kini sedang belajar di Tarim, baik di Darul Musthafa ataupun di Rubath Tarim
Beberapa alumnus hasil didikannya telah menyelesaikan studinya di sejumlah perguruan di Timur Tengah,diantaranya  Alwi Al-Habsyi, yang telah mendirikan pesantren di Alalak, Banjarmasin, Ibrahim Assegaf dan ,Musthofa Assegaf yang telah berkiprah dengan majelis ta'limnya di kota Kintap, Kalimantan Selatan, dan Syarif Hamid Al-Qadri, dai muda dan penulis produktif, kini berdomisili di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan.
Selain aktivitas sehari-hari dipesantren, setiap tahun ini juga mengadakan sejumlah kegiatan rutin, terutama dengan memanfaatkan momen-momen keagamaan yang ada. Yang paling menonjol dari kegiatan dakwah tahunan yang ia lakukan adalah penyelenggaraan haul Faqih Al-Muqaddam, setiap bulan Muharram, yang telah ia gelar sejak 2001. Pelaksanaannya bisa memakan waktu hampir satu bulan dan dilaksanakan  di sejumlah lokasi pada beberapa kota. Waktunya ia sesuaikan, agar tak berbenturan dengan kedatangan Habib Umar Bin Hafidz, yang setiap Muharram datang ke Indonesia.
Saat ditanya lebih jauh tentang profil pribadi dan perjalanan hidupnya,Habib Haidarah kerap meng- hindar.Ia tetap lebih suka mem- bicarakan tema-tema dakwah dan tarbiyah. Berbekal sedikit informasi darinya yang kemudian banyak dilengkapi oleh sejumlah orang dekatnya, gambaran sosok Habib Haidarah dapat alKisah hidangkan untuk Anda di sini.   Bersambung...
Berjumpa dengan Habib Ali  Al-Jufri
Habib Haidarah lahir di- Pontianak, dari pasangan Habib Muhsin Bin Ali Al-Hinduan dan Syarifah Zulaikha Al-Mahdali. Ayahnya Wafat saat ia baru berusia 10 tahun . sejak itu, ia dan adik-adiknya diasuh oleh ibunda- nya,di Situbondo Jawa Timur.
 Pendidikan SD dan SLTP-nya diselesaikan di kota Situ- bondo, lalu ia masuk Pesantren Malang, Asuhan  Ustadz Abdullah Abdun Malang, disana, ia termasuk santri yang menonjol kecerdasannya, sehingga Ustadz Abdullah Abdun pun sangat menyayanginya.
          Usai lulus pesantren, ia melanjutkan studinya Ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Di sana ia menjumpai beragam corak pemikiran dan aliran. Latar belakang keluaraganya, yang akrab dengan dunia thariqah, cenderung banyak berhubungan dengan para tokoh thariqah sufi yang ada di mesir, seperti thariqah Burhaniyah, Dasuqiyah, dan sydziliyah.
          Ia tidak lama tinggal di Negeri Piramid itu. Tak sampai setahun, ia memutuskan belajar di syiria.
Selama belajar di Syria, ia juga menghadiri majelis yang diasuh Dr. M. Sa’id Ramadhan Al-Buthi
Ternyata di Syria pun ia tidak lama, hanya sempat tinggal sekitar tiga bulan. Ia memutuskan kembali lagi ke Mesir.
Sebelum berangkat ke Mesir, ia beristikharah, mengharap petunjuk dari Allah SWT : negeri mana yang tepat untuk menjadi tujuan belajarnya setelah itu.
Di tengah perasaannya yang sedang kalut, hatinya berbisik, “Hadharamaut.” Padahal, saat itu belum ada pelajar asal Indonesia di Hadharamaut seperti sekarang ini. Akibat perang sudara di Yaman, situasi negeri itu pun masih belum kondusif. Namun keinginannya pergi ke Hadharamaut terus menguat. Maka, sebelum kembali ke Mesir, ia telah mengusahakan visa untuk masuk ke Yaman.
Sesampainya di Mesir kembali, ia mendengar, seorng dari Hadhramaut tengah datang ber- dakwah ke Mesir.
Ditemani beberapa temannya, ia menemui orang itu. Ternyata orang yang ditemuinya itu adalah Habib Ali Al-Jufri.
Karena banyak bertanya tentang banyak hal, Habib Ali mengajaknya masuk ke dalam kamar untuk bicar empat mata. Saat ia mengutarakan keininannya belajar di Hadhramaut, Habib Ali tampak sangat senang, hingga ia tawari tiket pesawat ka Yaman untuk berangkat bersama. Ia menolak,karena ia sendiri sebelumnya telah membeli tiket ke Yaman.
Tak lama kemudian, ia pun berangkat ke Hadhramaut, negeri yang saat itu benar-benar asing baginya. Keterangan yang ia dapat dari Habib Ali menjadi petunjuk satu-satunya yang ia miliki ten- tang Hadramaut.
Mengenal sosok Habib Umar
Sesampainya di Aden, Yaman, Habib Ali menjemputnya, lalu mereka melanjutkan perjalanan bersama menuju Tarim. Saat itu, tengah berlangsung ziarah Nabi yullah Hud As. Maka, saat masuk Tarim, ia langsung dibawa menuju Bukit Hud.
Sebelum sampai di Bukit Hud, ia, yang Sebelum sampai di Bukit Hud, ia, yang waktu itu masih bercelana panjang, panjang, sempat diajak Habib Ali berziarah sempat diajak Habib Ali berziarah ke ‘Inat.
Usai ziarah bersama di makam Nabi Hud As, Habib Ali membawanya mendekati Habib umar.
Kepada Habib Ali, Habib Umar bertanya, “Dari mana kau bawa anak ini, ya Ali ?”
Habib Ali menjawab,”Dari Mesir.”
Lalu Habib Umar bertanya kepadanya, “Kau mau belajar kepada kami ?”
“Iya,” jawabnya.
Ahlan wa sahlan bi washiyati rasulillah - Selamat datang, wasiat rasulullah,” habib Umar ­­­­­­­­menyambut.
Sejak itulah ia belajar kepada Habib Umar. Saat itu pelajar Asia Tenggara, termasuk Indonesia, di Tarim, cuma ia dan dua temannya, Habib Ali Zainal abidin Al-Hamid, saat ini kandidat doktor di Malaysia, dan seorang sayyid dari keluarga Al-Habsyi.
Sebuah pengalaman menarik ia dapati di awal kedatangannya di kota Tarim. Dalam perjalanan dari Mesir, ia berjumpa Sayyid Ibrahim Ar-Rifa’i, seorang mursyid Thariqah Rifa’iyah di Mesir, yang juga hendak berziarah ke Tarim. Sepanjang perjalanan, Sayyid Ibrahim tak henti-hentinya bershalawat.
Usai ziarah Nabi Hud,  malam nya dirumah Habib Umar ia tidur di samping Sayyid Ibrahim. Tengah malam Sayyid Ibrahim mendadak terjaga  dan mulutnya terus bershalawat . kejadian itu terjadi berulang kali pada malam itu.
Esoknya , usai sholat subuh berjamaah Sayyid Ibrahim selalu mendahulukan orang lain untuk bersalaman dengan Habib Umar , kecuali Habib Haidarah yang menolak di dahulukan. Mungkin maksud sayyid Ibrahim , dengan bersalaman paling akhir , ia dapat langsung berbincang dengan Habib Umar seusai semuanya bersalaman.
Tinggal Sayyid Ibrahim dan dirinya yang belum bersalaman dengan Habib Umar. Sayyid Ibrahim lalu bersalaman dengan Habib Umar dan bertanya, dimana kedudukanmu di hati Rasulullah?”
Dengan Tersenyum, Habib Umar balik bertanya “apa yang engkau lihat semalam ?”.
“Aku bermimpi Rasulullah memelukmu dan begitu bangga denganmu.” Jawabnya.
Mendengar jawaban itu. Habib Umar tidak menghiraukan dan segera memerintahkan Sayyid Ibrahim melanjutkan bersalaman dengan jamaah yang lain.
Kejadian tersebut amat membekas di hati Habib Haidarah, yang mendengar langsung dialog singkat itu . Ia semakin mengenal sosok gurunya . Ia pun merasa betah tinggal disana dan benar-benar memanfaatkan  waktunya untuk belajar kepada Habib Umar dengan sepenuh hati.
Restu Sang Guru
          Suatu ketika, ia hendak mengunjungi kerabatnya dari keluaraga Al-Hinduan di kota Aden . Ia pun minta izin Habib Umar untuk pergi satu bulan.
          Habib Umar mengizinkan  dan berpesan agar selama di sana ia belajar kepada Habib Abu Bakar Al-Masyhur, sehingga waktu sebulan disana bermanfaat.
          Benar saja. Di Aden, ia rasakan manfaat amat besar selama berguru kepada Habib Abu Bakar , Selain Alim dan istiqomah , pandangan-pandangannya amat  cemerlang dan tak sedikit di antaranya  yang belum pernah terlontar oleh para Ulama sebelumnya.
          Saat kembali ke Tarim, dengan tersenyum Habib Umar menyambutnya sambil membaca potongan ayat ke-65 dari surah Yusuf , “ Hadzihi bidha’atuna ruddat ilaina  ini dia barang milik kami dikembalikan kepada kami.”
          Kata-kata itu amat berkesan di hati nya. Bila ia di ingatkan kepada kejadian itu , sontak matanya berkaca-kaca . Begitu besar perhatian dan kasih sayang Habib Umar kepada murid-muridnya.
          Setalah sembilan bulan di Tarim, tibalah sekelompok pelajar Indonesia yang tercatat sebagai angkatan pertama Darul Musthofa , seperti Habib Jindan dan Habib Munzir. Kedatangan mereka semakin membuatnya betah tinggal disana.
          Di Tarim, ia tinggal sekitar dua tahun. kecendrungan hatinya pada dunia thareqat kaum sufi membuatnya berniat mencari guru Thariqah Naqsyabandiyah yang waktu itu ia dengar ada di India, sebelum kepulangannya ke tanah air.
Keinginannya itu ia utarakan kepada Habib Umar. Namun Habib Umar tak mengizinkannya dan menyuruhnya tinggal lagi di Tarim selama tiga bulan untuk mempelajari Thariqah Alawiyah.
Setelah tiga bulan mendalami Thariqah Alawiyah dari Habib Umar, di hatinya tumbuh rasa kagum yang luar biasa pada manhaj thariqah keluarganya ini. Sejak saat itu, berbekal restu dari sang guru , ia pun bertekad untuk kelak menyebarkan nya di tanah air.
Besarnya perhatian dan kasih sayang sang guru kembali ia rasakan saat hendak berpamitan pulang ke kampung halaman. Habib Umar memberikan kitab kepadanya dan berpesan agar kitab itu tidak dibuka kecuali bila sudah di dalam pesawat. Rasa penasaran menggalayutdi hatinya. Mungkin ada ilmu yang luar biasa yang terkandung dalam kitab tersebut.
Di dalam pesawat , kitab itu segera ia buka . Tiba-tiba, ait matanya pun menetes . Di dalamnya ada uang sebanyak 300 dolar. Ia merasakan perhatian sang guru ,yang masih dalam masa-masa awal membangun Darul Musthofa , sampai sedemikian jauh . Ya, ia benar-benar mendapati “ilmu yang luar biasa”dari teladan sang guru.
Hingga kini , ia terus menjaga jalinan hubungannya dengan Habib Umar , setiap masalah yang ia hadapi pun selalu di utarakan kepada gurunya itu. Sampai sekitar dua bulan silam. Saat berziarah ke Tarim, ia masukan putra sulungnya , Muhamad Amin Quthbi, usia 13 atau 14 tahun.,  di Darul Musthofa . Amin Quthbi tidak di tempatkan di asrama ,tapi di kediaman sang guru.



Sumber Majalah Al-Kisah edisi 12-25 Jumadil Akhir 1432 H 16-29 Mei 2011 M di tulis ulang oleh blog tarannam kelua  Sabtu 27 Sya’ban1434 H 6 Juli 2013 M.




  



No comments:

Post a Comment